Konflik berasal dari
kata kerja configere yang artinya saling
memukul. Dilihat dari sisi sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu. Hal itu lalu menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Karena
ciri-ciri individu dibawa dalam hal interaksi sosial, konflik merupakan hal
yang wajar. Dalam kehidupan sehari-hari tidak satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
A.
Definisi konflik
menurut para ahli:
1.
Nardjana (1994),
konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau
berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya
saling terganggu.
2.
Killman dan
Thomas (1978), konflik adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai
atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun
dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut
dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi
efisiensi dan produktivitas kerja.
3.
Wood, Walace,
Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998), yang dimaksud dengan konflik
(dalam ruang lingkup organisasi) yaitu : Conflict is a situation which two or
more people disagree over issues of organisational substance and/or experience
some emotional antagonism with one another. Yang artinya, konflik adalah suatu
situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu
permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya
perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
4.
Stoner, konflik
organisasi ialah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka
atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.
5.
Daniel Webster,
mendefinisikan konflik sebagai:
·
Persaingan atau
pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
·
Keadaan atau
perilaku yang bertentangan.
6.
Robbins,
merumuskan konflik sebagai sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan
oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam
berbagai bentuk hambatan yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi
dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya.Lebih
jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik harus dianggap ada oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik. Dengan demikian apakah konflik itu ada atau tidak
ada, adalah masalah persepsi dan bila tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa
ada konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut memang tidak ada. Tentu
saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata
tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya
dapat dianggap sebagai bernuansa konflik ternyata tidak dianggap sebagai
konflik karena anggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya,
setiap konflik dalam organisasi konflik selalu diasosiasikan dengan antara
lain, oposisi (lawan), kelangkaan, dan blokade. Di asumsikan pula bahwa ada dua
pihak atau lebih yang tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita
semua mengetahui pula bahwa sumber daya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan
lain-lain, dalam kehidupan dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap
orang, setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi akan berusaha
memperoleh sumber daya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan
mendorong perilaku yang bersifat menghalangi oleh setiap pihak yang punya
kepentingan yang sama. Pihak-pihak tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi
terhadap satu sama lain. Bila ini terjadi, maka status dari situasi dapat
disebut berada dalam kondisi konflik.
7.Cathy
A Constantino dan Chistina Sickles Merchant, menyatakan bahwa konflik pada
dasarnya adalah sebuah proses mengekspresikan ketidak puasan, ketidak setujuan,
atau harapan-harapan yang tidak terealisasi. Kedua penulis tersebut sepakat
dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses.
B. Jenis dan Sumber Konflik
I.
Jenis Konflik
1.
Konflik antara
atau dalam (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau
profesi (konflik peran (role)).
Misalnya
saat seseorang menerima perintah yang berbeda dari dua atasannya. Atasan yang
satu menyatakan harus menjaga jarak antar karyawan supaya kinerja tidak
terganggu, sementara atasan yang lain meminta agar semua karyawan mengutamakan
kerja tim, sehingga ia kesulitan menjalankan perannya.
2.
Konflik antara
kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
Misalnya
tawuran.
3.
Konflik kelompok
terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
Misalnya
segerombolan pendemo di depan gedung dpr yang mengakibatkan timbulnya tawuran
antar polisi yang bertugas keamanan di sana.
4.
Konflik antar
satuan nasional (kampanye, perang saudara).
5.
Konflik antar
atau tidak antar agama.
II.
Sumber Konflik
1. Faktor komunikasi
Misalnya pegawai lini
memiliki wewenang dalam proses pengambilan keputusan sementara staff lebih pada
memberikan rekomendasi atau saran. Sering pegawai lini merasa lebih penting,
sementara staff merasa lebih ahli. Ujung-ujungnya miss understanding di
kalangan pelaku organisasi karena informasi yang diterima kurang jelas atau
bertentangan dengan tujuan yang sebenarnya.
2. Faktor struktur
tugas maupun struktur organisasi
Misalnya dalam hubungan
kerja, bagian pemasaran ingin agar produknya cepat laku. Kalau perlu dijual
murah dan dengan cara kredit. Sebaliknya, bagian keuangan menghendaki
pembayaran harus tunai agar posisi keuangan perusahaan tetap stabil.
3. Faktor yang bersifat
personal
Misalnya di waktu yang
sama, seseorang harus membuat pilihan menerima promosi jabatan yang sudah lama
didambakan atau pindah tempat tugas ke tempat lain dengan iming-iming gaji yang
besar.
4. Faktor lingkungan
Misalnya seseorang yang
harus menjual produk dengan harga tinggi, padahal dia sadar bahwa calon
konsumennya membutuhkan keuangan untuk ongkos sekolahnya.
C. Strategi Penyelesaian Konflik
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik
yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain.
Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik
yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya
penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri.
Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan
penyelesaian kompromi antara dominasi kelompok dan kelompok lain untuk
berdamai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua kelompok
berpikiran positif, dengan alasan yang tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha
penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah
pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan
integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut
ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan
kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.
Terdapat juga cara
bersikap untuk penyelesaian konflik:
11. Bersikap
proaktif
Setiap anggota
tim harus turut
aktif dalam menyelesaian konflik secara proaktif.
22. Komunikasi
Komunikasi yang lancar
dapat menghindari diri dari
kesalahpahaman sehingga lebih mudah dalam menyelesaikan konflik yang timbul.
33. Keterbukaan
Setiap anggota
harus terbuka supaya konflik
tidak berlarut-larut dan dapat diselesaikan dengan baik. Dengan keterbukaan
konflik yang terjadi dapat ditangani sehingga menjadi konflik yang fungsional.